Thursday, July 22, 2010

Syekh Said bin Isa Al Amudy (bagian I)


Lisanul Hal

“Wahai…Saudara. Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil, dan siapa yang bermujahadah maka ia dapat menyaksikan, siapapun yang bertakwa maka derajatnya akan naik, barang siapa yang menanam tentunya ia akan memanen, dan Allah sangatlah dekat dan Maha mengabulkan.”yekh Said bin Isa al Amudy, dikutip dari kitab “Araisul Wujud” Hal. 52.


Pendahuluan

Segala puji bagi Allah SWT, yang anugerahNya tiada pernah terputus. Shalawat dan salam atas Nabi Ummi (tak membaca dan menulis) yang bersabda: “Barang siapa yang melindungi seorang mukmin dan seorang munafik – aku melihat beliau bersabda- maka Allah SWT akan mengutus malaikat untuk menjaga dagingnya dari api neraka di hari kiamat, dan barang siapa yang menimpakan suatu cela kepada seorang muslim, maka Allah SWT akan menahanya di jembatan (sirath-pen.) jahanam hingga cela tersebut keluar.” Serta keluarganya yang suci, para sahabat pilihan, dan pengikut-pengikutnya dalam kebajikan sampai hari kiamat.

Nasab Yang Berkah

Beliau adalah Syekh Said bin Isa bin Ahmad bin Isa bin Sya’ban bin Isa bin Dawud bin Abu Bakr bin Talhah bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakr Asshiddiq Khalifah Rasulullah SAW . Dijuluki al Amudy -semoga Allah SWT merahmatinya-, karena saking banyaknya mendirikan shalat dan selalu menjaganya, shalat tiang agama dan saat paling dekat bagi hamba dalam munajatnya, bahkan diriwayatkan :”Bahwasanya Islam inti dari segala sesuatu, dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat”. Dari sini, Syekh Said mendapat gelar “al Amudy” diambil dari “Amududdin (Tiang agama) yang berasal dari kata “al imad” kemudian sesuai dengan ejaan masyarakat setempat di ganti menjadi “al Amudy”.

Kelahiran dan Sisi Kehidupannya

Syekh Said bin Isa lahir di lembah Dauan, berada dalam asuhan kedua orang tuanya yang serba kekurangan, jauh dari hiruk pikuk kehidupan, mendapat bimbingan agama yang baik dan senantiasa melaksanakan amal kebajikan. Saat itu pengajaran agama terbatas pada sistem talaqi (sebatas pada penyampaian verbal) maka dari itu, beliau tidak pernah belajar membaca dan menulis di masa kecilnya. Namun, kedekatan dan keterikatannya dengan para masyayekh (ahli agama) yang tak pernah terabaikan ditambah obsesinya yang tinggi menjadikan dirinya berkembang, pikirannya terang, dan mendapatkan kemurnian ajaran dari sumbernya. Beliau juga memperoleh tempat di hati orang-orang sholeh karena kedekatannya dengan mereka dan banyaknya doa-doa yang dipanjatkan serta wejangan yang berkenaan dengan pencerahan pikiran, dzikir, dan makrifatullah. Beliau adalah sosok yang istiqamah, hidup dalam lingkup masjid dan pengajian orang-orang sholeh, serba kekurangan, berada di lembah yang tandus…lembah yang cocok untuk beribadah, dan tempat untuk menyepi. Syekh Said bin Isa acapkali menyendiri menelusuri pegunungan yang terjal itu, mencari kambingnya di antara semak belukar, dan bebatuan, dengan senantiasa bertafakur akan kekuasaan Allah SWT atas ciptaannya, diiringi pancaran cahaya keimanannya dan ketajaman sanubari dalam merenungai ihwal penciptaan itu. Demikianlah, mutiara hikmah memuncah darinya. Cita-citanya yang tinggi, membuatnya tenggelam dalam mujahadah dan menempa diri, menjadikan lisannya senantiasa berzikir, dan menghiasi hatinya dengan rasa syukur. Sehingga untaian katanya terasa indah di telinga pendengarnya, penyejuk duka hati dan pedihnya dosa-dosa. Terkadang beliau menyampaikan wejangan melalui kehalusan (kedalaman) pemahaman dan sketsa yang tidak dapat di ilustrasikan. Dari keningnya terbias cahaya yang mematahkan kecongkakan orang-orang yang sombong, dan menerangi jalan orang-orang yang mencari jalan kebenaran. Keluhuran pekertinya yang mengagumkan menjadikan dirinya bahan perbincangan khalayak ramai.

Menurut sejarawan, Syekh Said mempersunting putri Syekh Said bin Ahmad Balwaar Bilafif. Konon selepas perkawinan, istrinya melihat Syekh Said berlainan dengan apa yang didengar dari ayahnya tentang ihwalnya, kejadian itu diutarakan kepada ayahnya yang zuhud (tidak mencintai dunia) dan ahli ibadah, “Bagaimana aku dapat hidup dengan orang yang tidak giat bangun malam”?ujarnya. Ayahnya berkata: ”Kembalilah kepadanya dan perhatikan apa yang ia perbuat dan diucapkan di waktu malam”. Sang istri kembali disertai salah seorang utusan dari keluarganya untuk membawa kabar Syekh Said. Ketika menjelang malam sang istri memperhatikan apa yang dilakukan suaminya hingga terbit fajar, setelah itu melaporkan kepada utusan ayahnya sesuai dengan apa yang ia lihat “ Sesaat sebelum terbit fajar, ia bangun kemudian mendirikan shalat, dan berucap: ”aku...aku..aku…”. Setelah kabar tersebut sampai di telinga Syekh Said Balawar, ia mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada putrinya: “Maqam (pangkat kewalian) inilah yang masih belum kita capai” artinya bahwa maqam Syekh Said bin Isa alAmudy telah mencapai tahapan menjawab Sang Penyeru “Adakah dari hambaKu yang bertaubat?, adakah dari hambaKu yang meminta?”

Syekh Said tenggelam dalam samudera kerinduan. Hembusan angin membawakan berita kepadanya perihal ihwal para kekasih Allah SWT di masa itu, membisikkan kabar ahli tarikat di Syam, Yaman, Hijaz, Maroko, Irak setiap pagi dan sore. Bersamaan dengan itu Syekh Said terus momohon kepada Allah SWT untuk dapat berkumpul dengan mereka lahir dan batin, sehingga dapat merasakan ajarannya yang agung dan bias cahanya di saat tertimpa lara. Pada hari ahad di waktu dluha tahun 590, desiran angin membawa berita kepada Syekh Said, sebagaimana hembusan angin yang membawa kabar kepada Ya`kub As. Berkenaan dengan ini Allah SWT berfirman dalam Al Quran:

ولما فصلت العير قال أبوهم إني لأجد ريح يوسف

Artinya : Tatkala kafilah telah keluar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka : “sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)”.

Yaitu ketika Syekh Abdullah al Shaleh al Maghriby menuju lembah Dauan dengan membawa surat kedua untuk Syekh Said bin Isa al Amudy. Sedangkan surat pertama telah diberikan kepada al Ustazd al A`dham al Faqih al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba Alawy di kota tarim. Kemudian mengambil janji setia, dan talbis (memakaikan kain sebagai tanda resmi dari sebuah tarikat), serta menyuruhnya untuk tidak merahasiakan ajaran tarikatnya. Setelah itu pengambilan ajaran tasawuf berlanjut secara terbuka. Dan menjadi syiar bagi para penempuh jalan menuju Allah SWT.

Dari sini terlihat bahwa kabar mengenai keberadaan al Faqih al Muqaddam dan Syekh Said bin Isa al Amudy sampai ke Maghrib (sebutan untuk pedataran Maroko, Mortania, Tunisia, alJazair) melalui Hijaz. Setelah Syekh Abu Madyan al Maghriby mendapatkan keterangan perihal kedua orang tersebut, beliau mengutus Syekh Abdurrahman alMaq`ad seorang Syekh berasal dari Hadramaut yang berada di Maghrib dan mengambil ajaran tarikat darinya untuk menyampaikan misi itu. Menurut penuturan Syekh Syuaib, utusannya itu akan wafat di tengah perjalanannya sebelum sampai ke Hadramaut, dari itu Syekh Abdurrahman harus meminta rekan seperjalanannya menuju Hijaz yaitu Syekh Abdullah Shaleh al Maghriby salah satu keturunan raja-raja Maghhrib untuk melanjutkan misi menyampaikan surat tersebut kepada yang bersangkutan.

Utusan Syekh Abu Madyan di Dauan

Utusan Syekh Abu Madyan sampai di Tarim dan menyampaikan misinya sesuai dengan yang di minta. Setelah itu, utusan tersebut bergegas menuju Lembah Dauan untuk menemui Syekh Said bin Isa al Amudy. Akhirnya, atas petunjuk warga, sang utusan berhasil menemui Syekh Said sedang mengembala kambingnya di pelosok lembah Qaidun yang tentram. Saat itu Syekh Said berusia 80 tahun . Kemudian sang utusan mentalbis (memakaikan kain) Syekh Said dengan khirqah , membaiatnya, serta memintanya untuk menyebarkan ajaran tasawuf dengan terang-terangan di lembah itu. Sebelumnya Syekh Said tidak menampakkan ajaran tasawuf dalam bentuk sebuah tarekat, namun beliau senantiasa menghiasai dirinya dengan pekerti dan perilaku tasawuf. Tidak lupa utusan itu menceritakan pertemuannya dengan al Faqih al Muqaddam di Tarim, bahwa beliau sudah menyebarkan ajaran tasawuf secara terbuka, mengajak kepada jalan menuju Allah SWT, meninggalkan martabat, mengenyampingkan apapun selain Allah SWT, sebagaimana orang-orang zuhud yang meninggalkan masalah keduniaannya.

Syekh Said adalah sosok yang rendah hati, tidak menyukai dunia dan kemasyhuran, tumbuh di lingkungan para pecinta akhirat dan benar-benar memusatkan hatinya kepada Allah SWT. Baiat dan talbis yang diperoleh merupakan mahkota yang hanya di semayamkan kepada mereka yang memiliki kedudukan yang tinggi, dan Syekh Said mengambilnya tanpa adanya keinginan kepada hal tersebut. Ia bertutur : Tiada akan merasakan dzauq (ketentaram dan kemurnian rasa,) kecuali yang memiliki hal (suasana kedamaian jiwa) dan sebuah maqam tidak akan didapat kecuali oleh mereka yang menempuh jalan menuju tuhannya.

Dzauq adalah cahaya dari kedalaman jiwa yang di pancarkan oleh Sang Pengasih pada hati yang di dalamnya terdapat pengagungan. Hal dirinya menariknya pada sebuah penghadiran diri (kembali menuju Allah SWT) di saat-saat tertentu, yang dengannya kebeningan nurani dapat dicapai. Sejak itu, Syekh Said menampakkan jati dirinya sebagai penempuh tasawuf yang selalu merindukan tuhannya…para penduduk lembah menyambut kedatangan Syekh Abdullah al Sholeh al Maghriby dengan hangat dan gembira, sehingga untuk beberapa saat beliau tinggal bersama mereka, kemudian pindah ke lembah Maifa`ah. diriwayatkan bahwa beliau berdiam di desa “Asbaun” dan mempersunting salah seorang wanita, yang darinya mendapatkan beberapa putri.

Sepeninggalnya, berliau berwasiat untuk menyerahkan urusan putri-putrinya kepada Syekh Said bin Isa al Amudy. Yang menakjubkan dari Syekh al Maghriby menjelang wafatnya, beliau diminta menunjuk “Syekh” menggantikan posisinya dari salah seorang tiga tokoh besar yang pernah mengambil ajaran tasawuf darinya yaitu : Al Faqih al Muqaddam, Syekh Said bin Isa al Amudy, dan Syekh Ba Hamran. Setelah mengheningkan dirinya beberapa saat beliau berkata : “Syekh kalian sepeninggalku adalah si pemilik tasbeh, dan aku telah menjadikan wasiatku menjadi empat bagian”. Adapun warisannya berupa tasbeh, tongkat, panci, lentera, habwah (kain yang diikatkan antara pinggang dan kaki), bastah (semacam tempat untuk kue), dalqan (pedang yang mudah di hunus).” Setelah wafat, pembagian harta waris Syekh al Maghriby terbagi sebagai berikut : Tongkat dan tasbeh bagian al Faqih al Muqaddam, panci dan lentera untuk Syekh Said bin Isa al Amudy, sedangkan bastah dimiliki Syekh Ba Hamran, adapun yang mendapat bagian dalqan adalah Syekh Ba Umar.

Dalam wasiat tersebut, pemilik tasbeh yaitu al Faqih al Muqaddam ditunjuk sebagai Syekh pengganti. Dan kenyataannya para tokoh besar tasawuf tersebut bernaung di bawah bendera al Faqih al Muqaddam, memiliki satu visi di antara sesama tokoh ajaran tasawuf dalam mengemban misinya menyebarkan tarekat.

Syekh Said Al Amudy Khazanah Keluarga Ba Alawi

Sejak adanya hubungan erat antara kedua tokoh besar sufi yang mengibarkan bendera tasawuf di Hadrmaut itu, tersebarlah di antara khalayak sebutan “Keluarga al Amudy khazanah (tempat simpanan, pemegang sirr) keluarga Ba Alawy”. Artinya dari keterkaitan dan kedekatan jiwa keduanya, menjadikan Syekh Said sebagai tempat titipan segala ketetapan al Faqih al Muqaddam, bahkan pematahan pedang atas perintah al Faqih al Muqaddam merupakan simbol yang mengandung makna konkrit dan abstrak. Yaitu meninggalkan segala bentuk keduniaan yang menjadi ikon masyarakat saat itu, dengan menempuh ajaran tarekat tidak mengejar martabat dan kemasyhuran, menyibukkan diri dengan ilmu dan pengamalannya, ketimbang disibukkan dengan urusan yang berkenaan dengan pedang (perang dsb). Inilah pola pembaharuan pemikiran yang bersumber dari kedalaman jiwanya.

Dalam kitab “al Syamil” disebutkan bahwa gelar di atas, berdasarkan peninggalan al Faqih al Muqaddam yaitu rahasia keilmuannya, serta berkat eratnya jalinan persahabatan antara mereka. Dalam hal ini Habib Ja`far bin Ahmad al Habsyi menyatakan sanjungannya atas Syekh al Amudy, sebagaimana berikut : Dalam dirinya (al Amudy) tersimpan rahasia keluarga Alawy, kami telah memperoleh keterangan itu dari lisan orang yang terpercaya.

Simbol pematahan pedang di atas tidak dimaksudkan al Faqih al Muqaddam untuk mengajak para Alawiyin kepada kebodohan dan kerendahan ketika menempuh tarekat ini, sebagaimana dikira oleh beberapa anak cucunya yang kurang memahaminya. Akan tetapi al Faqih al Muqaddam mematahkan pedangnya berdasar dua aspek pokok yaitu : Aspek politik dan aspek religius-sosial.

Berkenaan dengan aspek politik, ahli sejarah Sayyid Muhammad bin Ahmad al Syatiry mengupasnya dalam kitab “Adwar at Tarikh al Hadramy” sebagai berikut : “Di masa al Faqih al Muqaddam dan sebelumya para penguasa di Hadramaut menyoroti ruang gerak Alawiyin yang mendapatkan tempat di hati rakyat. Mereka khawatir kekuasaannya runtuh, dari itulah mereka selalu mengawasai gerak gerik Alawiyin dan terus menyudutkannya, seperti perlakuan para penguasa sebelumnya, yang bermula sejak Bani Umaiyah, Bani Abbas dan lainnya. Al Faqih al Muqaddam menyadari, peristiwa tersebut telah dialami keluarganya. Kejadian seperti itulah yang membuat kakeknya Shahib Mirbath (Muhammad bin Ali) hijrah dari daerahnya. Kejadian konkrit yang pernah di saksikan sendiri adalah kematian pamannya Alwy yang diracun oleh al Qahtany penguasa Tarim saat itu. Dari sini kita lihat bahwa simbol peletakan senjata saat itu berarti kesediaan untuk berdamai satu sama lain. Karena tentunya pada suatu saat nanti silang sengketa antara lawan maupun kawan tak dapat dihindarkan, permusuhan dan dendam dari generasi ke generasi akan terus berlanjut, sebagaimana terjadi antara kabilah saat ini. Maka dari itu, dengan wawasannya yang luas al Faqih al Muqaddam menyikapi hal tersebut dengan menghilangkan inti dari pokok permasalahannya, menempuh ajaran tasawuf, serta memegang tongkat perlambang dari kesufian, yang menempati posisi pedang di mana ketika itu menjadi simbol kekerasan, penindasan, dan segala bentuk kejahatan serta alat untuk mendapatkan kekuasaan”.

Adapun aspek religius-sosial dari simbol pematahan pedang tersebut dijelaskan al Syatiry pula dalam kitabnya “al Adwar” sebagaimana berikut: “Dari beberapa sumber yang terkumpul menyatakan bahwa al Faqih al Muqaddam meletakkan pedang bahkan mematahkannya adalah seruan yang mestinya di landasi dengan praktek melalui ucapan dan perbuatan, yaitu meninggalkan akidah yang tidak benar yang beredar sebelum itu, dibuktikan perbuatan dengan konsisten memupuk kebersamaan, meningkatkan persaudaraan sesama umat Islam, sebangsa dan seagama di antara kabilah-kabilah di setiap unsurnya.

Dan bahwasanya ilmu dan iman merupakan senjata yang paling ampuh untuk membawa masyarakat kepada kemajuan dan kebahagiaan hidup. Dari pandangan hidup ini, al Faqih al Muqaddam memiliki keberanian dan peranan penting. Begitu pula Syekh Said bin Isa, peranannya dalam mengimplementasikan pedoman ini tidak kalah dengan pelopornya yaitu al Faqih al Muqaddam. Menurut buku-buku sejarah, sisa-sisa dari pecahan pedang yang dipatahkan tersebut dilestarikan oleh keluarga al Amudy bersama peninggalan al Faqih yang lain, sesuai dengan apa yang diwasiatkan oleh al Faqih al Muqaddam. Hal seperti ini adalah bentuk implementasi dari tradisi ajaran kesufian yaitu menyerahkan pakaian atau lainnya kepada salah seorang murid yang bakal menempati posisi masyakhah (pimpinan tarekat). Sebagaimana yang dilakukan oleh Syekh Sholeh al Maghriby yang mewasiatkan beberapa peninggalan untuk murid yang mumpuni dalam mengambil ajaran tasawuf. Peninggalan tersebut masih tersimpan di Qaidun hingga saat ini, di bawah pengawasan pihak yang bertanggung jawab atas makam Syekh said bin Isa al Amudy…sebagai perlambang dari hubungan erat di antara kedua tokoh besar tersebut. Keeratan seperti inilah yang disebut dengan “al ittihad alkully” (persatuan menyeluruh) baik dari sisi ajaran, keilmuan, pengamalan, dan pertalian darah.

Dalam penjelasannya Sayyid Alwy bin Tahir berkata : “Sejak dahulu telah terjalin ikatan erat antara keluarga al Amudy dan keluarga Ba Alawy, berkat hubungan antara Sayyid al Kutb al Ghaust al Faqih al Muqaddam Jamaluddin Muhammad bin Ali Ba Alawi dengan Syekh al Kabir al Arif billah Said bin Isa al Amudy, dengan ini keluarga al Amudy mendapatkan banyak kebajikan dan keberkahan lahir maupun batin, senantiasa berada dalam akidah yang benar, dan pertalian darah yang tiada terputus. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap nasab dan pertalian darah pada hari kiamat terputus, kecuali nasabku dan pertalian darahku…” sebagaimana makna hadis. Mereka juga mendapatkan sentuhan dari keilmuannya dan pelimpahan rahasia-rahasia dan pemahamannya. Tidak sedikit dari para masyayekh, orang-orang shaleh, tokoh sufi dan lainnya kala itu yang mengambil ilmu lahir maupun batin baik yang berkenaan dengan syariat, tarikat dan hakikat darinya.

Dalam kitab “Araisul Wujud” disebutkan : “Adapun beberapa hal yang diperoleh oleh Syekh Said berkat keeratannya dengan Sayyiduna al Faqih al Muqaddam beserta keturunannya, antara lain seperti apa yang diungkapkan oleh Syekh al Allamah Ba Sudan dalam bukunya “Faidh al Asrar” berikut persaksian para wali-wali Allah SWT, yaitu adanya titipan rahasia nubuwah, yang dengannya gelar “Khazanah Bani Alawi” disandangnya. Cukuplah kiranya hal tersebut untuk menisbatkan maqam dan menyematkan tanda kehormatan kepadanya.

Sungguh pangkat yang tinggi, nafahat yang agung, serta pertaliannya dengan budi pekerti Rasulullah SAW telah mencukupkannya dari segala hal. Gelar “Khazanah Keluarga Ba Alawi” memang pantas atas dirinya.

Bersambung

No comments:

Post a Comment